Sebagai individu yang hidup di perkotaan, banyak sekali sumber stres yang dapat dialami antara lain kepadatan penduduk, kondisi transportasi umum, dan kemacetan (WowShack Team, 2017). Survei yang dilakukan oleh perusahaan Zipjet (2017) menunjukkan bahwa Jakarta menduduki peringkat ke 18 dari 150 kota yang penuh stres (Zipjet, 2017). Berdasarkan survei tersebut, ditemukan berbagai permasalahan di perkotaan yang menjadi penyebab tingginya tingkat stres di kota Jakarta, yaitu kurangnya ruang hijau, kepadatan, kemacetan, transportasi umum, kesehatan fisik, dan sebagainya (Zipjet, 2017). Diluar faktor tersebut, terdapat berbagai tuntutan sebagai individu, diantaranya adalah tuntutan pekerjaan yang menjadi sumber stres terbesar (Anggraini, 2018) dan tuntutan akademis di perkuliahan (Brown, 2013) pada mahasiswa.
Menurut Brown (2013), sebenarnya banyak juga mahasiswa yang merasa memiliki keunggulan di bidang non-akademis, seperti olahraga, dan lebih menjadi prioritas di atas akademis. Oleh karena itu, adanya tuntutan akademis yang diberikan oleh orang tua akan berdampak pada stres akademik. Permasalahan ini juga dialami oleh Indonesia, terutama pada kota-kota besar, khususnya di wilayah Jabodetabek. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan solusi agar masyarakat perkotaan mampu mengurangi tingkat stres yang mereka alami sehingga stres tidak berkembang lebih lanjut dan mengancam kesehatan mental masyarakat.
Work-life balance merupakan sejauh mana individu secara seimbang terlibat dan puas dalam perannya di kehidupan pekerjaan dan kehidupan nonkerjanya (Greenhaus, Collins, & Shaw 2003). Rendahnya tingkat keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga tersebut dapat menimbulkan stres pada individu. Stres kerja merupakan fenomena yang dihadapi oleh setiap individu ketika bekerja dan diatasi secara berbeda menggunakan cara mereka sendiri. Pada dasarnya, hal tersebut terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara kemampuan individu dengan tuntutan dari organisasi (Pediwal, 2011 dalam Naqvi dkk, 2013). Stres kerja adalah situasi emosi yang tidak menyenangkan yang dialami individu ketika persyaratan dari sebuah pekerjaan tidak seimbang dengan kemampuannya untuk mengatasi situasi tersebut. Ross dan Vasantha dalam Atheya dan Arora (2014) menambahkan bahwa keseimbangan kehidupan-kerja dan stres kerja berjalan beriringan.
Hubungan antara keseimbangan dan perspektif ada kaitannya dengan identitas diri yang tidak hanya fokus pada pekerjaan (Sarkar & Flechter, 2014). Identitas diri itu sendiri merupakan sebuah pembentukan identitas dengan cara menyesuaikan diri melalui talenta atau minat yang dimiliki dan tersedianya sebuah wadah di masyarakat untuk menyalurkan talenta atau minatnya. Oleh karena itu, dengan mengetahui talenta dan minat pada diri sendiri, serta menyalurkannya dapat mengurangi stres pada individu dan merupakan usaha untuk mendapat keseimbangan dalam hidupnya.